Mengikuti perkembangan perpolitikan di Indonesia tanah air kita adalah kegiatan yang menyenangkan dan juga bisa sad activities. Betapa tidak.. bila kita tinjau bagaimana kelamnya sejarah perpolitikan Indonesia sejak “merdeka” ’45.
Dimulai dengan kesedihan umat Islam ketika perdebatan antara kaum nasionalis dan ulama yang endingnya adalah kemenangan bagi kaum nasionalis yakni penghapusan piagam Jakarta. Rakyat Indonesia kembali menangis ketika pergolakan kaum sosialis yang tergabung dalam PKI menculik para Jendral-Jendral kita. Dilanjutkan dengan tragedi-tragedi politik yang mengiris hati kita sebagai ummat di Indonesia, seperti TRITURA, Kediktatoran Rezim, kejadian Semanggi, sampai turunnya persiden kita ke-2 atas kemarahan rakyat yang menderita akibat krisis moneter imbas dari kepentingan Barat di Asia.
Sekarang kita terkejutkan dengan nuansa politik yang tidak menentu dan serba kepentingan golongan. Penyakit ini menjalar di lembaga-lembaga pemerintahan dan partai-partai politik beserta kiprah para kadernya di parlemen dan di luar. Korupsi yang semakin halus dan canggih di kalangan pejabat. Kita rasakan faktanya setiap hari, berita tentang kasus-kasus korupsi mengisi headline koran-koran lokal. Seakan-akan korupsi adalah tradisi yang lumrah bagi pemilik amanah di lembaga perintahanan kita. Bentuk korupsi halusnya adalah bagaimana para dewan mengagendakan anggaran yang bersifat mubazir dan tidak masuk akal, seperti kunjungan-kunjungan studi banding di luar negeri yang ujung-ujungnya sebagai tempat rekreasi yang menyenangkan bagi mereka, atau anggaran pembelian laptop bagi para dewan. Padahal bila kita lihat gaji mereka, hmm.. luar biasa banyak!
Penerimaan anggota DPR terbagi menjadi tiga kategori, yaitu rutin perbulan, rutin non perbulan dan sesekali.
Rutin perbulan meliputi :
Gaji pokok : Rp 15.510.000
Tunjangan listrik : Rp 5. 496.000
Tunjangan Aspirasi : Rp 7.200.000
Tunjangan kehormatan : Rp 3.150.000
Tunjangan Komunikasi : Rp 12.000.000
Tunjangan Pengawasan : Rp 2.100.000
Total : Rp 46.100.000/bulan
Total Pertahun : Rp 554.000.000
Masing-masing anggota DPR mendapatkan gaji yang sama. Sedangkan penerimaan nonbulanan atau nonrutin. Dimulai dari penerimaan gaji ke-13 setiap bulan Juni.
Gaji ke-13 :Rp 16.400.000
Dana penyerapan ( reses) :Rp 31.500.000
Dalam satu tahun sidang ada empat kali reses jika di total selama pertahun totalnya sekitar Rp 118.000.000. Sementara penghasilan yang bersifat sewaktu-waktu yaitu:
Dana intensif pembahasan rencangan undang-undang dan honor melalui uji kelayakan dan kepatutan sebesar Rp 5.000.000/kegiatan
Dana kebijakan intensif legislative sebesar Rp 1.000.000/RUU
Jika dihitung jumlah keseluruhan yang diterima anggota DPR dalam setahun mencapai hampir 1 milyar rupiah. Data tahun 2006 jumlah pertahun dana yang diterima anggota DPR mencapai Rp 761.000.000, dan tahun 2007 mencapai Rp 787.100.000.
Betapa banyak keputusan-keputusan pemerintah yang merugikan rakyat. Misal lepasnya BUMN dari tangan negara kepada pihak-pihak swasta asing, kenaikan BBM yang tidak rasional, impor barang sembako yang merugikan para petani, dll.
Akan tetapi semua kebijakan-kebijakan yang merugikan rakyat diatas dibungkus dengan pencitraan. Pencitraan yang membangun “image” atau istilahnya “brand” bahwa kebijakan tersebut wajar dan jalan terbaik bagi pemerintahan. Politik pencitraan tersebut tidak akan berhasil jika tidak melalui media massa untuk membius rakyat Indonesia. Media periklanan pun dioptimalkan oleh lembaga-lembaga pemerintah untuk membius rakyat, seperti kebiasaan iklan-iklan produk di media tulis dan televisi yang memang bertujuan profit oriented dan “sedikit menipu”.
Politik pencitraan inipun digunakan sebagai senjata ampuh oleh partai-partai peserta Pemilu 2009 untuk merebut hati rakyat. Para peserta pemilu ini mati-matian membangun citra mereka lewat media informasi melalui periklanan walaupun biaya yang dikeluarak milyaran rupiah. Tak pelak perusahan jasa periklanan pun “ketiban durian” meraup untung yang lumayan dengan adanya kampanye Pemilu ini. Selaras dengan yang dikatakan Sekretaris Menko Polhukam Romulo Robert Simbolon :
“Pada satu sisi iklan-iklan seperti itu memang mendatangkan profit bagi media massa. Namun di sisi lain, bisa menjebak media massa mengingkari kewajiban pokoknya memenuhi hak masyarakat untuk tahu (public’s right to know),”
Kesedihan bagi kita adalah di titik lalainya partai-partai politik pada tugas pokoknya yaitu membina rakyat dengan pemikiran dan visi misi partai mereka. Para partai lebih memfokuskan diri pada membangun citra daripada membina rakyat dengan politik yang baik. Hal ini semakin menjatuhkan level pendidikan politik rakyat Indonesia.
Dari hasil Pemilu, yang saya ambil dari quickcount LS1 di Kompas.com :
1. Demokrat 20.48%
2. PDI Perjuangan 14.33 %
3. Golkar 13.95%
4. PKS 7.85%
5. PAN 5.72 %
Pemenang permilu diatas adalah partai-partai yang menguasai pandangan mata dan telinga rakyat dengan janji-janji lewat iklan mereka di tv, majalah, koran, dan radio. Rakyat memilih mereka karena terbius iklan daripada menilai secara subjektif kinerja para anggota partai ataupun visi misi partai. Bila tidak percaya.. tanyakanlah para para pemilih apakah mereka mengetahui visi dan misi partai yang mereka pilih. Maka sebagian besar mereka tidak mengetahuinya.
Kita tidak membutuhkan partai-partai politik yang hanya berpikiran merebut kekuasaan tanpa mempunyai pemikiran solutif dan revolutif bagi permasalahan Indonesia. Kita hanya berharap kepada semua partai-partai di Indonesia untuk merubah sikap mereka selama ini. Rubahlah dari dalam partai dengan melakukan pembinaan kader yang baik.
Oleh : winsolu.wordpress.com
sumber: http://www.kabarinews.com/article.cfm?articleID=32766 ; http://www.kompas.com/read/xml/2008/10/22/20285895/media.jangan.tersandera.banjir.iklan.politik.
Filed under: politik | Tagged: 2009, citra, indonesia, pemilu, pencitraan, politik | 3 Comments »